Posted by : Unknown
Jumat, 17 Mei 2013
“Sang kodok”
Angin kering menyapu permukaan pasir yang luas...
sangat panas dan akan seperti itu entah kapan berakhir. Wangi tandus akar yang
terbakar tercium menyengat.. menyesakkan dada seekor kodokyang telah tersesat
di gurun itu bertahun-tahun yang lalu. Tumpukan batu adalah tempatnya
berlindung, beralaskan daun kaktus yang telah layu durinya. Matanya yang
senantiasa harus diusap dengan embun pagi, kini penuh luka tertutupi garam
gurun yang telah membatu... perih... bertahan hidup dengan mengharapkan remah-remah
bangkai, sisa sarapan burung-burung kondor yang sombong akan kekenyangannya.
Sang kodok melongok keluar melihat ke atas dan
didapati sang bulan masih mengejeknya dan kejamnya terik sang surya melengkapi
harinya... dia selalu mengagumi rajawali dengan sayap kekarnya yang selalu bisa
menaklukan dunia, keinginanya memiliki sayap selalu menghantui angannya,
mengganggu mimpinya dan menghujat takdirnya... keinginan terbesarnya adalah
terbang menuju bulan dan mengajaknya bercinta, mengubah ejekannya menjadi
senyuman penuh cinta. Tapi apa daya dia tetap seekor kodok.
Beberapa burung kondor terbang diatas rumahnya,
menunggu sang kodok menghembuskan nafas terakhirnya.. tubuh sang kodok hanya
tinggal seonggok tulang terbungkus kulit yang tipis bersisik... setelah
bertahun-tahun, inilah yang ia tunggu mendung kelam yang berat. Dia menggali
gundukan pasir untuk menampung air hujan, tenggorokannya sudah lupa akan rasa
air hujan, karena stiap kali hausnya hanya terpuaskan dengan menjilat
keringatnya sendiri. Burung-burung kondor yang menunggunya telah pergi karena
mendung tiba, dia semakin leluasa menggali. Perih, sakit, luka, lelah sirna sudah seiring asa yang ada kini. Angin
kencang menyapu sekali lagi.. kini semakin kencang.. menerbangkan mendung dan bulir-bulir
airnya pergi dari atas kepala sang kodok.
Hari ini, mendung telah menjauhi telaga impiannya,
menghancurkan asanya, menghancurkan impiannya, menegaskan takdirnya,
melanjutkan penderitaannya. Ingin rasanya ia menangis, tapi air matanya telah
sirna. Sang bulan tertawa lebar mengejeknya... sang surya kembali membakarnya
dengan kesombongannya. Butiran pasir kini menutupi punggung sang kodok yang
masih berada di dasar telaga impian keringnya. Dengan sisa-sisa nafasnya ia
berusaha naik, namun sang angin terlalu kuat untuknya.
Sang kodok terkubur dalam telaga impian keringnya,
terkubur bersama angan-angannya, harapannya, luka-lukanya... namun berhiaskan
mimpi-mimpinya yang indah... namun burung-burung kondor kebingungan mencari
kudapannya yang hilang.
Nawa. Diberdayakan oleh Blogger.